Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak
Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.
Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah
"hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan
"hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi
atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta
atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan
apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan
hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak
cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak
moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
Dalam artikel DPR Setujui RUU Hak Cipta Jadi UU, Rancangan
Undang-Undang Hak Cipta telah ditetapkan menjadi undang-undang. UU Hak Cipta
yang baru ini (“UU Hak Cipta Baru”) akan mengganti Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta(“UU 19/2002”).
Melalui Pasal 1 UU Hak Cipta Baru, dapat kita lihat bahwa UU
Hak Cipta baru memberikan definisi yang sedikit berbeda untuk beberapa hal.
Selain itu, dalam bagian definisi, dalam UU Hak Cipta Baru juga diatur lebih
banyak, seperti adanya definisi atas “fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”,
“Lembaga Manajemen Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”,
“ganti rugi”, dan sebagainya. Dalam UU Hak Cipta Baru juga diatur lebih detail
mengenai apa itu hak cipta. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas
hak moral dan hak ekonomi.
Masih banyak hal lain yang berbeda antara UU 19/2002 dengan UU Hak Cipta
Baru. Berikut akan kami jelaskan beberapa hal yang berbeda.
Mengenai perbedaan antara UU 19/2002 dengan UU Hak Cipta Baru, dapat
dilihat dalam Penjelasan Umum UU Hak Cipta Baru yang mengatakan bahwa secara
garis besar, UU Hak Cipta Baru mengatur tentang:
1. Perlindungan hak cipta dilakukan
dengan waktu lebih panjang;
2. Perlindungan yang lebih baik terhadap
hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk membatasi
pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat);
3. Penyelesaian sengketa secara efektif
melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan, serta penerapan delik aduan
untuk tuntutan pidana;
4. Pengelola tempat perdagangan
bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak cipta dan/atau
hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya;
5. Hak cipta sebagai benda bergerak
tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia;
6. Menteri diberi kewenangan untuk
menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan tersebut melanggar
norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara,
serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
7. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik
hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik
imbalan atau royalti;
8. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait
mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak terkait yang dibuat
dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial;
9. Lembaga Manajemen Kolektif yang
berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait
wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri;
10. Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia
untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebagai benda bergerak, baik dalam UU 19/2002 dan UU Hak Cipta Baru diatur
mengenai cara mengalihkan hak cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat
(1) UU Hak Cipta Baru ditambahkan bahwa hak cipta dapat dialihkan
dengan wakaf.
Masih terkait dengan hak cipta sebagai benda bergerak, dalam UU 19/2002
tidak diatur mengenai hak cipta sebagai jaminan. Akan tetapi, dalam Pasal
16 ayat (3) UU Hak Cipta Baru dikatakan bahwa hak cipta adalah benda
bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia.
Mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih panjang, dalam Pasal
29 ayat (1) UU 19/2002 disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak
cipta adalah selama hidup pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah
pencipta meninggal dunia, sedangkan dalam UU Hak Cipta Baru, masa
berlaku hak cipta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu masa berlaku hak moral dan hak
ekonomi.
Hak moral pencipta untuk (i) tetap mencantumkan atau tidak mencatumkan
namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; (ii)
menggunakan nama aliasnya atau samarannya; (iii) mempertahankan haknya dalam
hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal
yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas
waktu (Pasal 57 ayat (1) UU Hak Cipta Baru). Sedangkan hak moral untuk
(i) mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; dan (ii)
mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama berlangsungnya jangka
waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan (Pasal 57 ayat (2) UU Hak
Cipta Baru).
Kemudian untuk hak ekonomi atas ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku
selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta
meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya (Pasal
58 ayat (1) UU Hak Cipta Baru). Sedangkan jika hak cipta tersebut dimiliki
oleh badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan
pengumuman.
Perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 tersebut hanya berlaku bagi
ciptaan berupa:
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya
tulis lainnya;
b. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan
sejenis lain;
c. alat peraga yang dibuat
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa
teks;
e. drama, drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. karya seni rupa dalam
segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung,
atau kolase;
g. karya arsitektur;
h. peta; dan
i. karya seni batik atau
seni motif lain.
Akan tetapi, bagi ciptaan berupa:
a. karya fotografi;
b. potret;
c. karya sinematografi;
d. permainan video;
e. program komputer;
f. perwajahan karya tulis;
g. terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis
data, adaptasi, aransemen, modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi;
h. terjemahan, adaptasi, aransemen,
transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;
i. kompilasi ciptaan atau data, baik
dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer atau media lainnya; dan
j. kompilasi ekspresi budaya tradisional
selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. (Pasal
59 ayat (1) UU Hak Cipta Baru)
Kemudian untuk ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta
berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman (Pasal 59
ayat (2) UU Hak Cipta Baru).
UU Hak Cipta Baru ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus
(sold flat). Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya,
lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual
putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali
kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun (Pasal
18 UU Hak Cipta Baru). Hal tersebut juga berlaku bagi karya pelaku
pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak
ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan
setelah jangka waktu 25 tahun (Pasal 30 UU Hak Cipta Baru).
Hal lain yang menarik dari UU Hak Cipta Baru ini adalah adanya
larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan
dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di
tempat perdagangan yang dikelolanya (Pasal 10 UU Hak Cipta Baru). Dalam Pasal
114 UU Hak Cipta Baru diatur mengenai pidana bagi tempat perbelanjaan
yang melanggar ketentuan tersebut, yaitu pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Selain itu, dalam UU Hak Cipta Baru juga ada yang namanya Lembaga Manajemen
Kolektif. Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan
hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau
pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan
mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta Baru).
SUMBER :
0 komentar:
Posting Komentar